Menabung adalah Melawan

Setelah menikah, mendesain rencana menabung menjadi perkara yang lebih serius.

Sebelumnya, saya melakukan hal yang sama untuk biaya kuliah S2 dan menikah. Selain karena keajaiban dari Allah taala, saya kira rencana keuangan yang sederhana itu bisa disebut wasilahnya. Tsaaah!

Meski S2 di UIN Bandung tak mahal dan pernikahan saya tak semewah pernikahan Harvey Moeis, jika saya tak pakai strategi menabung di 2 tahun terakhir ini, mungkin tak akan tercapai. Apalagi dengan nominal penghasilan khas pekerja yayasan seperti saya.

Sambil menyimak siniar Dodi Bicara Investasi, saya membuat rentang spreadsheet rencana menabung seumur hidup. Dari umur 33 tahun saat ini, sampai umur 90 tahun. Waw, pede betul bakal berumur sepanjang itu.

Semuanya saya desain dengan perasaan kikuk. Dalam hati saya tergoda dengan pikiran… apaan sih kayak idup bakal panjang dan seakan-akan gak percaya dengan konsep rezeki saja.

Tapi saya teruskan saja. Saya kira, rezeki adalah satu hal yang di luar kontrol saya, tapi desain keuangan pribadi, saya kira masih dalam genggaman saya, meski hanya sekian persen saja.

Di usia 40-an saya tulis tujuan: kali aja ada anak. Usia 50-an, kali aja pengen beli tanah buat perguruan silat, dst. Sampai kemudian saya merasa agak gentar pas menulis tujuan menabung di usia 80-an. Saya menulis, mewariskan.

Me-wa-ris-kan.

Saya zoom-out spreadsheet di depan saya. Dan tertegun melihat betapa pendeknya rangkai kolom yang merentang dari usia 30-an sampai 90-an. Hanya 10 kolom ke samping, dan 11 kolom ke bawah. Pendek betul.

Jangan tanya kenapa saya sangat percaya diri memacak rencana investasi 90 tahun. Kok bisa-bisanya ada warga Indonesia yang menurut BPS punya indeks harapan hidupnya 70 tahun itu, punya kepercayaan diri bakal hidup sampai 90 tahunan.

Well, apa boleh buat. Saya kira inilah cara satu-satunya tetap teguh bersikap optimis, meski alasan-alasan untuk itu semakin tak jelas saja.

Kesannya memang seperti ilusi, tapi apa boleh buat, bukan?

Dari pengalaman menyusun rencana menabung kali ini saya dapati, selain hidup ini pendek dan masa depan tak ada yang tahu, saya kira “merencanakan tabungan” dan yangbutama “melaksananya”, adalah keberanian kecil untuk melawan.

Apa yang dilawan?

Standar kebahagiaan yang menipu. Bahwa sukses itu keberuntungan, dan bersyukur itu harus bandingin kondisi kita dengan orang yang lebih sial.

Btw, saya tidak menabung dengan cara macam-macam. Crypto atau apalah. Cuma saham-saham perusahaan Indonesia dan koperasi yang saya bangun bareng teman-teman di Nyimpang, Koperasi Daya Karya.

Next time aku bakal ngomongin Koperasi Daya Karya, deh.

Ciau!


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *