Kerja Keabadian

Saat merenungkan lagi soal buku-buku saya yang hanya laku sedikit, dan karenanya membikin hati agak murung, saya teringat ucapan Pramoedya Ananta Toer berikut…

“Menulis adalah kerja keabadian”.

Menulis memang bukan seperti menjabat di perusahaan BUMN, yang bukan saja didesain untuk memonopoli market tertentu, tapi juga punya jaminan bisa memperkaya diri.

Pendeknya, sebuah tulisan tak bisa dilihat hasilnya, pun ukurannya, dalam sekali launching.

Apapun yang kita ekspektasikan dari terbitnya sebuah buku, entah itu sedangkal ketenaran dan uang, atau seluhur gerakan pemberontakan dan reformasi negara, ia tetaplah pekerjaan yang mesti dilakoni dengan ketulusan dan keuletan.

Keduanya, keuletan dan ketulusan, cuma bisa diukur oleh waktu. Akhirnya laku atau tidaknya karya kita hanyalah satu dari sekian banyak rintangan yang menguji keuletan dan ketulusan kita.

Rasanya sudah hampir satu tahunan saya memutuskan tak menerbitkan buku baru. Sedikit agak kapok, karena buku terakhir hanya laku 10 biji. Ya ampun sedihnya.

Tapi perenungan kali ini lumayan agak menampar. Keabadian, kan bukan dalam hitungan tahunan lagi. Ia melampaui kadar-kadar hitungan umur kita.

Saya lihat rak buku saya lagi. Ada Gabo, Pram, Voltaire, Steinbeck, bahkan Einstein.

Beberapa penulis buku ini bahkan tak pernah bermimpi jika karya mereka bakal dibaca setelah mereka mati, bahkan oleh orang-orang yang bicara dengan bahasa yang asing di telinga mereka sendiri.

Bayangkan bagaimana orang di Chile, yang lari-lari dari kejaran rezim komunis karena karyanya ini bisa membayangkan bukunya akan diterbitkan dalam terjemahan bahasa lain di sebuah kabupaten yang namanya tak pernah ia dengar dan jauhnya bahkan mustahil ia capai sendiri.

Bukan, bukan, bukan berarti saya membayangkan kelak karya saya akan dibaca setelah saya mati. Kemudian di sebuah tempat yang tak terbayangkan jauhnya, karya saya sudah berubah jadi bahasa lain. Saya tak punya cukup nyali untuk berfantasi sejauh itu.

Hanya saja, rasanya tak adil jika saya harus berhenti, atau merasa takut menerbitkan buku lagi berdasarkan usia berproses saya yang baru dalam hitungan jari tahun.

Ada yang harus diterbitkan, yaitu suara saya sendiri, dari sekian banyak suara lain yang ada di muka bumi.

Saat ini, meski tak banyak, ada saja orang yang menunggu dan menikmati karya yang saya ciptakan. Saya tahu itu. Dan saya sungguh menghormati itu.

Namun akan ada telinga-telinga baru di masa depan, ruang hidup bagi karya saya nanti.

Saya cuma punya hari ini untuk keduanya. Barangkali itulah artinya “kerja keabadian”.

Mungkin tak lama lagi, saya tak akan menahan-nahan lagi menerbitkan buku baru. Doakan, deh.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *