Dari Fitzgerald: Menulis Bukan Sekadar Bicara

Saya suka terkesima dengan pesan-pesan penulis besar yang saya baca, terutama saat mereka membicarakan prinsip-prinsip mereka soal menulis. Salah satunya adalah kutipan dari F. Scott Fitzgerald berikut:

“You don’t write because you want to say something, you write because you have something to say.”

Banyak orang berpikir bahwa menulis itu hanya soal mengekspresikan diri. Saya juga sempat beriman begitu.

Namun F. Scott Fitzgerald di sini berpandangan lain. Baginya menulis bukan karena ingin bicara, tapi karena ada sesuatu yang benar-benar harus kita sampaikan.

Kadang, orang mulai menulis, atau bermimpi menerbitkan buku hanya karena ingin terlihat keren atau ikut tren.

Tak salah-salah amat. Ingin keren toh manusiawi, namun alasan seperti itu seringkali hanya menghasilkan tulisan yang tak selesai, hanya dibicarakan, tapi gak jadi-jadi.

Well, saya selalu dimintai saran oleh orang-orang yang katanya ingin menulis bukud an mengubah dunia. Namun saya jarang melihat orang-orang betulan menulis buku.

Atau, kalaupun ada yang berhasil menulis buku pertamanya, ia menjadi buku yang tak enak dibaca.

Mungkin saja ada buku sejenis dengan nasib yang lebih beruntung. Ia laku keras, tapi isinya pasti penuh oleh sesuatu yang pernah kamu baca di berbagai tempat.

Tidak salah juga sih menulis buku kumpulan quote populer misalnya. Tapi apa betul kamu hanya ingin menjadi penulis si-asal-nulis aja?

Agar kita minimal bisa belajar dari quote di atas, saya mencatat beberapa hal. Jika kamu punya waktu cobalah simak.

Setiap buku, puisi, atau artikel yang timeless pasti memiliki pesan yang kuat. Contohnya, Tetralogi Bumi Manusia bukan hanya sekadar serial novel—itu adalah kritik sosial tentang identitas kebangsaan.

Tetralogi tersebut masih dibaca sampai sekarang. Bahkan penulisnya, Pramoedya A. Toer masih dirayakan dalam acara khusus di Jakarta dan Blora, pada helatan “100 Tahun Pram” bulan ini.

Memang kadang-kadang sulit mengukur karya yang “penting” itu. Namun setiap penulis besar memiliki satu kesamaan ini: mereka berani berbeda.

Karena ya untuk mengatakan sesuatu yang penting, setidaknya bagi kita sendiri, mestilah punya nyali untuk berbenturan dengan “kebenaran” yang kadung ada dan umum.

Fitzgerald sendiri menulis The Great Gatsby sebagai kritik terhadap gaya hidup American Dream yang halu.

Intinya lord Fitz bukan sekadar menulis, tapi karena dia punya keresahan yang krusial terkait gaya hidup orang-orang Amerika. Sementara Pram, yang sosialismenya terasa dalam novel-novelnya juga, nyatanya orang yang teguh dengan nilai-nilai tersebut.

Saya merasa, jika kita mau sedikit belajar dari visi penulisan macam Lord Fitz dan Yang Mulia Pram, kita bisa renungkan lagi sebelum mengetik kalimat pertama di laman kosong Ms. Word kita.

Sebelum mulai menulis, coba pikirkan…

Apakah saya sedang menulis biar orang kagum?

Apakah tulisan ini harus dibuat karena penting?

Jika kita punya jawaban yang jelas akan pertanyaan tersebut, saya kira itu bisa jadi awal untuk menciptakan tulisan yang tidak sekedar “bicara”.

Jika dipikir-pikir, sebagai penulis, kita punya tanggung jawab untuk tidak hanya “bicara”, tapi juga menyampaikan sesuatu yang berarti bagi diri sendiri dan pembaca kita.

Makin kemari kita makin bertanggung jawab untuk itu, apalagi di masa saat dunia dipenuhi oleh berita sampah dan propaganda politik.

Jadi, menulislah karena punya sesuatu yang benar-benar penting untuk disampaikan. Bukan hanya karena sekadar ingin berbicara.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *